A.
Sejarah timbulnya ilmu kalam
Faktor
yang melatar belakangi munculnya Ilmu Kalam adalah Persoalan Politik.
Awal mula
perpecahan sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan
‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya
yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang
dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi
dirinya.
Menurut segolongan kecil, Usman
salah bahkan kafir dan pembunuhnya berada dipihak yang benar, karena
perbuatannya yang dianggap salah selama menjadi khalifah. Sebaliknya pihak yang
lain mengatakan bahwa pembunuhan tersebut adalah kejahatan besar dan
pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir, karena Usman adalah salah
seorang prajurit islam yang setia. Penilaian yang saling bertentangan kemudian
menjadi fitnah dan peperangan yang terjadi sewaktu Ali memegang
pemerintahan.
Setelah Usman wafat Ali sebagai
calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, tantangan-tantangan
tersebut diantaranya dari :
1.
Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang
mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam
pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh
dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
2.
Tantangan yang datang dari
Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya
menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur
dalam soal pembunuhan itu.
Dalam pertempuran yang terjadi
antara dua golongan di Siffin, tentara Ali
mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk
lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang
licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang
ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian
dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr
Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam
pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah
mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa
terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr
mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa,
tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan
menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk
kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik
menjadi khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali yang menerima dan
mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui
oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat
diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak
ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada
pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. Mereka memandang
Ali telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya.
Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij,
yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Persoalan-persoalan politik yang
terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr
Ibn al-‘As, Abu Musa al- Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase
adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar
dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah
menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang
dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan
al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa
inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi
selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Dalam keadaan seperti ini juga
timbul dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan
al-jabariah. Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat
kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan
pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah
al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan
teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena telah
menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa
dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat
makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak
diciptakan.
Aliran mu’tazilah yang bersifat
rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam,
terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik
menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun
meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini
mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil
bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
(932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian
menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah
diucap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran
tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah
atau al-Asya’irah.
Disamping aliran asy’ariah timbul
pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh
Abu Mansur Muhammad al- Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi
al-Maturidiah yang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi
tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud
menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M)
yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran
teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak
mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang
ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa
al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab
Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni
lainnya.
B.
Dasar-dasar
normatif ( al-Qur’an dan hadits )
Mengkaji aliran-aliran Ilmu Kalam pada dasar merupakan upaya memahami kerangka
berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya potensi yang dimiliki
setiap manusia baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis-secara
natural. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran
lainnya dalam mengkaji suatu obyek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat
natural pula.
Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para shahabat dan thabi’in
biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi
yang menjadi pemicu perbedaan pendapat di antara mereka adalah terdapat
beberapa shahabat yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi Saw,
sementara yang lain nya tidak. Shahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu
berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskankan
suatu ketentuan hukum.
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi
tampaknya lebih menekankan aspek subyek pembuat keputusan sebagai pemicu
perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan oleh Imam Munawir
bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatar belakangi adanya beberapa
hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat
keputusan.
Lain lagi dengan apa yang dikatakan oleh Umar Sulaiman Asy-Syaqar,
ia lebih menekankan aspek obyek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan
pendapat. Menurutnya ada tiga persoalan yang menjadi obyek perbedaan pendapat
yaitu persoalan keyakinan ( aqidah ), persoalan Syari’ah dan persoalan Politik.
Bertolak dari ketiga pandangan tersebut diatas, perbedaan pendapat di dalam
masalah obyek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara ( metode )
berfikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan obyek pengkajian (
persoalan-persoalan kalam ). Perbedaan metode berfikir secara garis besarnya
dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu “ metode berfikir rational “ dan “ metode berfikir tradisional “.
Metode
berfikir rational ini memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
·
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas
disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yakni ayat yang qoth’i ( teks yang tidak
di interprestasikan lagi kepada arti lain selain arti harfiyah ).
·
Memberikan kebebasan
kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat
kepada akal.
Adapun
metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
·
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti
dhonni ( teks yang boleh mengandung arti selain dari arti
harfiyahnya ).
·
Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak
dan berbuat
·
Memberikan daya yang
kecil kepada akal.
C.
Kerangka
Berfikir aliaran-aliran Kalam
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.
Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :
1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas
di sebut dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi (tersayang
tidak boleh disamakan dengan arti lain)
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak
3. Memberikan daya yang kuat kepada akal.
Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :
1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung
arti Zhanni (tersayang boleh mengandung arti lain).
2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam
berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.
Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional
adalah mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir
tradisional adalah Asy’ariyah.
Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula
pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam.:
1. Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik
ang natural maupun yang supra natural dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia
adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber
kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan
demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih
kemerdekaan dari lilitan naturalnya.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas
transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam
bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih
kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang
memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan
dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas
transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah,
Mu’tazilah dan Syi’ah.
2. Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang
ada di kosmos ini dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak
dan manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.
Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam
kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada
hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali
apa yang telah ditetapkan Tuhan.
Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau
jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori
Jabbariyah.
3. Aliran Konvergensi Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas transenden besifat supra
sekaligus intrekosms, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan
tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain
yang di kotomik.
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu
berada dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal.
Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama
antara daya yang transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya
temporal (manusia) dalam bentuk teknis.
Kebahagian bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya
membuat pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap
ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di
masukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi.
Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi
tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri
sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya
manusia mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral
perjuangan seluruh manusia.
D. Hubungan
ilmu Kalam dengan Filsafat dan Tasawuf
A.
Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu
Kalam
Dalam kaitannya dengan ilmu
kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai
pemberi wawasan spritual dalam pemahaman kalam.Penghayatan yang mendalam
melalui hati (dzauq dan widan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan
ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan
demikian,ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut
pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah
banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian
tasawuf dalam dunia Islam.
Pemahaman tentang jiwa dan roh
itu sendiri menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian kefilsafatan
tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun, perlu
juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah
istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam
tasawuf.Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh
dan jiwa. Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena
itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu
kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan
penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah
diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh
para ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam
bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau filsafat sama dengan ilmu kalam.
Dengan alasan-alasan sebagai berikut: Karena ilmu kalam dasarnya adalah
keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual.
Obyek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan
sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bawah
syariat-Nya. Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang
prinsip wujud dan sebab-sebabnya. Seperti filosuf Aristoteles yang dapat
membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari
adanya wujud Allah SWT. sebagaimana aliran materialisme. Selain itu, ilmu
tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam
perdebaan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia
Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan nasional, di samping
muatan naqliah. Jika tidak diimbangi dengan kesadaran rohaniah, ilmu kalam
dapat bergerak ke arah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf
berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai
dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau
sentuhan secara qabliah (hati).
B. Hubungan
Ilmu Tasawuf dengan Filsafat
Kajian-kajian Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan
ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi
kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh
itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf.Kajian-kajian kefilsafatan
tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Namun,perlu
juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah
istilah qalb (hati). Istilah qalb ini memang lebih spesifik dikembangkan dalam
tasawuf. Namun, tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh terhadap roh
dan jiwa.
C. Hubungan
Tasawuf, Ilmu Kalam dan Filsafat
Ketiganya berusaha menemukan apa
yangdisebut Kebenaran (al-haq). Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya
(kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah melalui mata hati. Kebenaran dalam Ilmu Kalam
berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu
dirujukkan kepada nash (al-Qur’an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa
kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud).Maka ketiganya mendalami
pencarian segala yang bersifat rahasia (gaib) yang dianggap sebagai ‘kebenaran
terjauh’ dimana tidak semua orang dapat melakukannya.
E. Pemikiran kalam kwarij
1.
Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij
adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar
pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama
Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij
adalah golongan politik yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima
paham penyelesaian sengketa antara Ali sebagai Khalifah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang menuntut Khalifah.Meskipun mereka semula adalah pengikut Ali,
tetapi akibat politik penolakan mereka atas sikap Ali dalam paham itu.
Mereka lalu
keluar dari kelompok Ali dan membentuk golongan sendiri yang dikenal golongan
Khawarij. Golongan ini disebut juga dengan nama Haruriah, karena mereka
berjumlah 12.000 orang itu memisahkan diri dari Ali menetapkan pimpinan baru
disuatu kampung yang bernama Harura yang terletak didekat kota Kufah, di Irak.
Mereka memilih Abdullah Ibn Abi Thalib.Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali
mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khariji bernama Abd
Al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Kelompok
Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,
sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah.
Ali sebenarnya
sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia
bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan pengikutnya
seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein
ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan
pasukanya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah
menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai
delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka
beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri.
Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni
Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij
sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa
kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada
disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu
adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada saat itu
juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Dengan arahan
Abdullah al-Kiwa mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini
melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang
pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
2. Doktrin-Doktrin Pokok
Khawarij
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
islam.
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan
demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat.
c. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan
bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan
dibunuh kalau melakukan kezaliman.
d. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah
menyeleweng.
e. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase
(tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga
harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa
seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain
yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan
pula.
i.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (Negara
musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
j.
Seseorang harus menghindar dari
pimpinan yang menyeleweng.
k. Adanya wa’ad dan
wa’id (orang yang baik harus
masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
l.
Amar ma’ruf nahyi munkar.
m. Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
n. Quran adalah makhluk.
o. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
3.
Perkembangan Khawarij
Perkembangan
khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas
di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang
berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan
golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang
berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah
bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Golongan Khawarij terbagi atas 6 golongan kecil yaitu :
a. Al-Muhakkimah
Golongan
Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan
Al-Muhakkimah.Bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn Al-As dan
Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui paham bersalah itu dan
menjadi kafir.
b. Al-Azariqah
Golongan yang
dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah
hancur adalah golongan Al-Azariqah.Daerah kekuasaan mereka terletak
diperbatasan Irak dengan Iran.Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn Al-Azraq.
Khalifah
pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar
Amir Al-Mu’minin. Nafi’ meninggal dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
mereka menyetujui paham bersalah itu dan menjadi musyrik
c. Al-Nadjat
Najdah bin Ibn
‘Amir Al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin
menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang
tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn
Al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Atiah Al-Hanafi, tidak
menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan
Al-Azariqah adalah musyrik.
Akan tetapi
mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam
neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun
pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, benar akan mendapatkan siksaan, tetapi
bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
d. Al-Ajaridah
Mereka adalah
pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad yang menurut Al-Syahrastani merupakan
salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.Menurut paham mereka berhijrah bukanlah
merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah,
tetapi hanya merupakan kebajikan.Kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah
kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir.Harta boleh dijadikan
rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati.
e. Al-Sufriah
Pemimpin
golongan ini ialah Ziad Ibn Al-Asfar. Dalam paham mereka dekat sama dengan
golongan Al-Azariqah.
f. Al-Ibadiyah
Golongan ini
merupakan golongan yang paling beda dari seluruh golongan Khawarij. Namanya
diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan
Al-Azariqah.
Semua subsekte
itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia
masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini
tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain
hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran
yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai
khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan
aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution mengidentifikasi beberapa
indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
1. Mudah mengafirkan orang yang
tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
2. Islam yang benar adalah islam
yang mereka pahami dan amalkan.
3. Orang-orang islam yang
tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya,
yaitu islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.
4. Karena pemerintahan dan ulama
yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari
golongan mereka sendiri.
5. Mereka bersifat fanatic dalam
paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan
mereka.
F. Pemikiran kalam Murji’ah
1. Sejarah Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah
diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan
pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi
harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan,
yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu, Murji’ah artinya
orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali
dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah
ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal
itu dilakukan oleh aliran khawarij.Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu, dihadapan Tuhan, karena
hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa
teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah.Namun pada dasarnya Awal mula
timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan
pertentangan politik yaitu soal khilafah
(kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi.Pertentangan politik
ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa
Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan
perang Shiffin.
Setelah wafatnya
Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M).Kaum Khawarij dan Syi’ah
yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah
itu.Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali
dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia
dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu
terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana
pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap
netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara
golongan yang bertentangan itu.Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan
itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan
yang benar.Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa
yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan
ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan
politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul
di zamannya.Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa
besar.Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi
bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka.Terhadap orang yang berbuat dosa
besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah
menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal
[4]ini
bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang
mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena
itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan
kafir.
Aliran Murji’ah
ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena
bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah.Dalam perkembangan
berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa
ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri
sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan tidak bisa
ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih
didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
2. Pemikiran dan Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan teologi
Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut
1. Penangguhan keputusan
terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk
menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah
menyerupai pengajaran (madzhab) para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah,
Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya
kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada
Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan (pentingnya) imal
daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la
al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1. Iman adalah percaya kepada
Allah dan Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu
keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap
mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa
besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman
semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan
madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia
cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah
tauhid.
3. Sekte-sekte Murji’ah
Kemunculan
sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di
kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Kesulitannya antara lain karena ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu
yang diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud antara lain Washil bin
Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari ahlus Sunnah.
Pimpinan dari
kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban,
Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang terkenal pada masa Bani Umayyah
adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis
besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan
golongan ekstrim.Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin
Murjiah di atas.Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin
masing-masing. Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
1. Golongan al-Jahmiyah yang
dipelopori oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai
Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT.
Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas
2. Golongan al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan
ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir)
adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak
bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan
ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan
dalam arti mengetahui Tuhan.
3. Golongan Yunusiah pengikut
Yunus Ibn an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan
tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari
itu.
4. Golongan al-Ubaidiyah
dipelopori oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan
golongan al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal
dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan
merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman.
Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi
orang kafir.
5. Golongan al-Gailaniyah
dipelopori oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah
SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah
(cinta) dan tunduk kepada-Nya.
6. Golongan al-Saubaniyah
dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah,
namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan
mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini
mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya
syari’at.
7. Golongan al-Marisiyah
dipelopori oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini
dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya,
juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan
dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan
dari iman.
8. Golongan al-Karamiyah
dipelopori oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan
secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya
seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9. Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi
ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya
karena dapat membawa pada moral
latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang
bersifat permissive, masyarakat
yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa
dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham
demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak
baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
G.
Pemikiran kalam Jabariah dan
Qodariah
A.
JABARIYAH
1.
Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata jabariyah
berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, didalam al-munjid dijelaskan
bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu..Selanjutnya, kata jabara bentuk pertama
setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran
(isme). Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha’ dan qadhar tuhan.
Faham al-jabar
pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin dirham kemudian disebarkan oleh jahm
bin shafwan dari khurasan. Namu dalm perkembangannya, faham al-jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya an-najjar dan ja’ad bin dirrar.
Sebenarnya
faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu
terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a. Suatu ketika nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang
mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.
Khalifah umar
bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar
ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada
tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu.
Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil
takdir tuhan.
b. Pada pemerintahan daulah bani
umayyah, pandangan tentang al-jabar semakinmencuat ke permukaan. Abdullah bin
abbas, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang
diduga berfaham jabariyah.
Berkaitan dengan
kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan
oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan
agama kristen bermazhab Yacobit.
2. Para Pemuka Jabariyah Dan Dokrin-Dokrinnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan
moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau
seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang menghendaki
demikian.
Diantara pemuka jabariyah
ekstrim adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin shofwan, nama
lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan
bertempat tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut ini;
1. Manusia tidak mampu untuk
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan
tidak mempunyai pilihan.
2. Syurga dan neraka tidak
kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan aliran kaum
Murji’ah.
4. Kalam tuhan adalah mahluk.
Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat.
b. Ja’ad bin Dirham, adalah
seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan dalm lingkungan
orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Dokrin pokok Ja’ad
secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai
berikut;
1. Al-quran itu adalah mahluk,
oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat
yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah
dalam segala-galanya.
Berbeda dengan
jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi manusia mempunyai bagian
dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut;
a. An-najar, nama lengkapnya
adalah husain bin muhammad an-najar, para pengiktnya disebut An-Najariyyah atau
Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut;
1. Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.
2. Tuhan tidak dapat dilihat
diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa tuhan dapt saja memindahkan potensi
hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan.
b. Adh-Dhiar, nama lengkapnya
adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan husein
an-najjar, bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang,
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata
dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
Mengenai ru’yat tuhan diakhirat,
Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.
B.
QADARIYAH
1.
Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa
arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun
menurut pengertian terminologi Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya.
Seharusnya, sebutan qadariyah
diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah
laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah
melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Menurut Ahmad Amin, qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad
adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan
ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
2. Dokrin-Dokrin Qadariyah
Dalam kitab
al-milal wa an-nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan
dokrin-dokrin mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
begitu jelas.
Qadariyah pada
dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Olah karena itu, ia berhak mendapat pahala atas perbaikan yang dilakukannya dan
berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Fahan takdir
dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai
oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
bertindak hanya menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap
dirinya.
Dengan
pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada tuhan. Dokrin-dokrin
ini mempunyai tempat pijakan dalam dokrin islam sendiri. Banyak ayat Al-quran
yang dapat mendukung pendapat ini. Misalnya dalam surat Al-Kahfi ayat 29, yang
artinya;
Dan Katakanlah: "Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir".(Qs.Al-Kahfi:29)
“Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri”.(Qs.Ar-raad:11)
“Barangsiapa yang mengerjakan
dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya
sendiri”.(Qs.An-Nisa’:111)